MIMPI SI ANAK BAJAU


MIMPI SI ANAK BAJAU
by Big Buddy

Gersang, kumuh, bau menyeruak seperti anyir, rumah bersusun sangat rapat, sehingga kalau dibuka jendela rumahku langsung tubrukan dengan jendela kamar tetangga. Bahkan, malaikat pun pasti tersesat kalau jalan-jalan di kampungku. Bagi yang baru ke kampungku di desa Rampa Lama Kabupaten Kotabaru mungkin tidak akan betah.
“Ditabung separuhnya…!” Ibuku mengingatkan setiap pagi-pagi sebelum ke sekolah.
Bagaimana mau menabung, sarapan tidak, uang jajan cuma seribu. Ah…!” gumamku.
“Di sekolahku itu seperti milik orang tua kami, terserah mau datang jam berapa, jam 7, 8, 9, 10 bahkan tak datang ke sekolah juga tak apa-apa.” Pikiranku semakin kusut melihat kondisi pendidikan yang katanya tambah maju ini hingga para pemimpin kami mendapatkan penghargaan yang aku pun tak tahu itu ditujukan untuk siapa.
Guru-guruku pasti aktif atau bisa dikatakan sok aktif apabila ada oknum tertentu atau ada pihak dari Dinas Pendidikan yang melakukan pengawasan setiap setengah semester. Tak boleh inilah, itulah. Kamuflase! kami selalu dijadikan sapi perah untuk mengangkat nama dan jabatan mereka. Tapi hari ini sedikit berbeda, karena Bapak-bapak dari DIKNAS akan membagi-bagikan uang beasiswa. Mereka menjanjikan jaminan buku gratis, tas, sepatu, baju, pokoknya yang bersangkutan dengan sekolah akan digratiskan untuk dua orang di setiap sekolah.
“ Benarkah bantuan itu mengalir pada yang membutuhkan?” gumamku lagi.
Hatiku terhenyak, diam, tak dapat bicara. Di sini mencapai kelas tiga SD saja sudah membanggakan, karena bagi orang tua kami tak penting sekolah, yang lebih penting bisa membaca, bisa menulis.
Tubuhku terasa terbakar. Aku harus mendapatkan beasiswa itu.  Walaupun para sesengot itu menyuruhku mengambil koin di dasar Selat Makasar ini, aku akan melakukan. Apapun yang terjadi. Aku tak boleh menyamakan nasibku dengan kedua orang tuaku. Mereka boleh menjadi nelayan tradisional yang bermodalkan punggawa dan rimpa. Hanya berpegang dengan cuaca, iklim dan percaya dengan hitungan bulan dan bintang. Tapi aku tidak. Aku harus mengubah semua itu. Tak ada lagi ramalan. Aku akan menjadi nelayan professional.
Bon..Bon..Bone…!” teriak ibuku.
Tak terasa sama sekali kakiku sudah menginjak susunan kayu lapuk rumah.
Ya, Mak… !” sahutku.
“Susul Bapakmu di gudang Abbas! Bantu dia menaikkan drum dan rimpanya!” kata ibuku dengan lantang.
“Tapi Bone belum makan, Mak…!” Jawabku
“Tidak ada makanan, kau minta saja di gudang, pasti ada kue-kue bekas kawan Bapakmu. Cepat berangkat, nanti kau dibanting Bapakmu lagi kalau lambat.!” Jelas Ibuku
Lagi-lagi aku terhenyak. Diam. Kejadian lima hari yang lalu masih terekam kuat di benakku. Bapak membanting tubuhku ke laut dengan sekuat tenaganya. Tubuhku bergetar hebat. Bukan tidak bisa berenang, tapi kemarahan Bapak yang membuat degup jantungku terdengar oleh seluruh ikan di laut, hanya karena terlambat mengantar makanan dari ibu. Kawan-kawan Bapak puas mentertawakanku, tubuh kecilku ingin sekali membungkus mereka dengan jala dan melemparinya dengan Ikan Tongkol, enak saja mereka cekikikan tertawa tanpa merasakan luka hatiku.
Aku langsung meluncur ke gudang, berlari tanpa menggunakan alas apapun. Terik matahari memanaskan urukan batu kerikil tajam yang belum sempurna menambah pijatan gratis di kakiku. Kalau  musim kemarau, mungkin aku akan mereguk cucuran keringat di tubuhku. Setibanya di gudang aku langsung menghampiri Bapakku dan membantunya menaikkan drum dan rimpa. Bapak tak melepaskan lototan matanya kepadaku, terus mengawasi. Aku tak berani menoleh kepadanya. Bulu kudukku akan berdiri jika melihat kilatan cahaya matahari yang dipantulkan oleh kulit legamnya. Matanya merah saga  karena tak pernah tidur malam dan selalu berkubang dengan air laut.
“Kau belum makan..?” kata bapakku yang langsung membuyarkan lamunan. Tak tahu mengapa. Seperti mimpi saja, tak pernah kalimat itu kudengar dalam hidup. “Belum Pak…!” Jawabku penuh ragu.
“ Kau ambil kue di kapal, makan, terus bantu aku lagi..!” perintah Bapak.
Aku langsung sergap berdiri mengambil kue yang diperintahkannya, kulahap tanpa jeda, karena cacing perutku belum makan dari tadi pagi. Bapak tak seperti biasanya, hari ini dia penuh perhatian, walau tampangnya sangar tapi aku tahu dan yakin kalau ia mempunyai hati yang lembut. Aku merasa ada yang tak beres. Tapi, Bapakku memperlihatkan gigi kuningnya yang bertumpuk-tumpuk. Aku langsung refleks membalasnya. Kalau  tidak, pasti ia akan menguras kue yang telah aku makan dan mengembalikannya kebentuk semula, karena dianggap anak yang tak patuh.
Aku  membantu bapak memperbaiki rimpanya yang kusut. Entah kenapa mulutku ingin menceritakan kejadian penting yang terjadi di sekolahku tadi pagi.
“Pak,. di sekolah Bone akan mengikuti tes beasiswa,..kataku pelan. Bapak melirik tanpa respon apa-apa. Bulu kudukku mulai bergerak.
“Jatah setiap sekolah hanya dua orang Pak. Doakan  Bone supaya dapat beasiswa..!” pintaku.
“Hemm…!” Desis Bapakku seperti baru melumat ubur-ubur secara hidup-hidup. Aku  terus saja melanjutkan ocehanku, tak peduli  orang menganggapku gila, pemimpi tengil. Aku  seolah bicara sendiri, sehingga lagi-lagi ditertawakan. Aku  manganggap biasa, karena Bapakku tak meresponi seluruh kata-kataku. Bapak memegang kepalaku dan menyandarkan di bahunya. Damai, hangat, aku seperti anak yang baru menemukan orang tuaku karena bertahun-tahun dibuang ke laut.
“Mengapa kau tidak ikut Bapakmu ini mencari ubur-ubur? Ini  sudah musimnya! Kita  cari uang sama-sama, tinggalkan sekolahmu dan kita cari ubur-ubur bersama,lanjut bapakku.
“Tidak..... tidak mungkin Pak, Bone ingin dapatkan beasiswa itu,teriakku
“Percuma Bon…!” lanjut bapakku.
“Aku benci bapak! Bapak sama saja dengan Mama! Tak pernah mau tau impianku selama ini!” jelasku.
“ Impian yang bagaimana?” tanya bapak.
“ Aku ingin jadi nelayan yang sukses! Tentunya dengan sekolah, bukan hanya mengandalkan otot Pak!” kataku.
“ Tapi untuk orang seperti kita, percuma sekolah Bon!” sahut bapak.
Aku langsung melepaskan pelukan bapak dan lari meninggalkan gudang. Aku berteriak. Tak tahu mengapa.
“Mengapa tak ada yang mengerti perasaanku? Mereka hanya mementingkan dirinya sendiri. Kapan kampungku mau berubah kalau semua beranggapan sekolah itu percuma?” Gumamku.
Aku berlari. Berteriak. Namun teriakanku mengundang amarah seorang warga. Aku dibentaknya. Aku terdiam. Gugup. Ocehannya panjang sekali. Ingin sekali wajah orang tua ini kucelupkan ke laut. Kualat. Aku pulang.
Aku menyelinap masuk. Terdengar tangisan Ibuku. Aku tak tahu mengapa. Perasaan ingin tahu keadaan Ibu menyelimuti. Tapi langsung tertutupi oleh rasa gatal yang teramat sangat di tubuh karena aku belum membersihkan diri. Aku mengendap-ngendap agar tak memancing kemarahan ibu. Mandi.
Aku lahap seluruh buku yang ada di rumah untuk menghadapi tes beasiswa besok. Aku tak boleh mengecewakan kedua orang tua walau setiap hari kusantap juga ocehannya.
“Sial..! mati lampu!gerutuku.
Di tengah kobaran semangat, mengapa PLN selalu mematikan listrik dua hari sekali di perkampungan ini. Apakah mereka menganggap dengan matinya listrik mati juga semangatku? Tidak akan. Aku belajar sampai terlelap, sambil membayangkan jadi orang sukses di kampung. Di dalam tidur, aku bermimpi bertemu dengan bapak lagi. Dia senyum. Sangat lama. Entah mengapa hatiku gusar. Dan ia lagi-lagi berkata,
“Pecuma Bon…!”
Aku ingin menggapai dan memberontak bapak karna dia tak pernah mengerti perasaanku. Namun lenyap di tengah kabut tebal. Aku mencarinya tapi percuma. Aku terbangun dari tidur. Ternyata masih jam 4 subuh. Aku langsung mandi dan belajar tapi terus diliputi perasaan aneh yang aku tak tahu perasaan apa ini.

“Mak.. Bone minta doa restunya, Bone hari ini ikut tes beasiswa, kemarin Bone sudah minta restu dari Bapak..!”Kataku, sambil mencium tangan Ibu, dan ia meneteskan air mata di kepalaku.
Aku tahu. Kata-kata itu pasti sudah meluluhlantakkan batin Mama dan ia pasti bangga punya anak sepertiku. He he he…” cekikikanku. Karena ketawa sendiri kepalaku dipukul dengan telapak tangannya.
“He… maaf  Mak… pokoknya doakan Bone ya…!”
Tegasku lagi
“Percuma Bon…!”Lagi-lagi kata itu yang kudengar. “Buyutmu, Kakekmu, Bapakmu, semuanya nelayan, jadi untuk apa kau sekolah tinggi-tinggi, hanya buang uang dan waktu saja. Kau terlahir di laut, makan dari laut, belajar pun di laut, laut adalah jiwa suku kita Nak, Suku Bajau.” Jelas Ibuku
“ Tapi kan Bone masih kecil Mak! Masih banyak waktu! Bone punya hak belajar! Bone harus jadi orang sukses. Titik!” Jelasku.
“ Berani sekali kau membentak Mamamu!” Teriak ibu. Aku terkejut.
Aku berlari dengan sekuat tenaga ke sekolah. Meninggalkan ibu. Aku tak berani menjawab apa yang dilontarkannya. Pasti nanti tangan ibu yang seperti centong mendarat di pipiku yang mulus.
Matahari mulai meninggi.hanya beberapa anak yang datang. Aku lelah belajar, dan diajak teman-teman main bola. Kugantung tas di pagar sekolah. Sangat lama aku bermain. Tak terasa, bajuku basah dan kuning oleh peluh. tapi gugu-guru belum ada yang datang. Aku meneruskan permainan. Bola terus menggelinding. Posisi bola di kaki temanku, Anan. Dia menendang bola sekuat tenaganya hingga mengenai tasku dan menghamburkan seluruh isinya ke laut. Aku pun berteriak.
Kerongo.. bangsat kam ni..e..” bentakku ke Anan.
Anan hanya menunjukkan rentetan pagar hitam yang terjejer di gusinya. Dadaku  terbakar emosi, aku menyerangnya tanpa ampun. Ronde pertama aku yang menguasai pergulatan, entah mengapa aku merasa sangat kelelahan sehingga banyak peluang yang didapatkan Anan. Kami bergulat sampai akhirnya aku terlempar ke laut. Anan sangat puas melihatku.
“ Andai saja aku pegulat internasional, akan kubantai Anan itu sampai muncrat darah di matanya, karena lelah menangis minta ampun kepadaku, Ho ho ho, tapi itu mustahil badannya kan lebih besar daripada badanku!” gerutuku.
Saat aku masih mengapung di laut, bapak-bapak dari DIKNAS datang. Mereka langsung ambil posisi di kelas kami.
Sial. Apa mereka tidak kasihan denganku? Melirik sedikit pun tidak. Lihat saja kalau aku sudah jadi orang sukses. Akan kutaklukkan para sesengot itu.” gumamku lagi.
Di tengah lamunanku, ternyata Si Tengil Anan itu membantuku untuk naik ke atas. Aku masih sangat kesal. Tapi melihat kegigihannya membantu naik ke atas aku jadi terharu. Bajunya juga basah.
“Anan…Anan…walaupun kau menjengkelkan, tapi kau tetap sahabat terbaik.” Gumamku. Aku naik ke atas dengan basah kuyub.
Para peserta antri satu per satu untuk melakukan registrasi. Anak-anak yang lainnya lolos. Tinggal aku dan Anan. Ternyata kehadiran kami ditolak, karena kami kotor dan tidak mempunyai perlengkapan yang wajib dibawa. Aku pun bingung bukan kepalang. Aku memohon-mohon kepada panitia dan guru-guru yang ada di sana namun mustahil, kami disuruh pulang. Aku tak tega melihat perjuangan Anan, sebenarnya dia masih diberi kesempatan untuk mengikuti, tapi ia bersikeras.
“ Kalau Bone tak masuk, aku juga.!” Tegas Anan
Aku merasa sangat malu dengan Anan. Aku terus memaksanya untuk ikut tapi ia tetap tidak mau.
“ Kenapa kau tadi menolongku…?” tanyaku ke Anan,
aku tidak tahu,” sahut Anan dengan tololnya,
“ Maaf ya, gara-gara aku, kau jadi tidak ikut tes beasiswa juga.” Kataku
Oh….” Jawab Anan
Ya Tuhan…. Kenapa aku punya teman sebodoh kamu..!” teriakku
Teriakkanku tak diresponi apa-apa oleh Anan. Sudahlah. Mungkin ini memang takdirku. Menghadapi sahabat sepolos ini. Aku pulang bersama Anan. Harapan kami telah musnah bersama gelombang.
Sebenarnya aku ingin sekali membakar sekolahku itu.” Kataku ke Anan.
“ Nanti malam saja kita bakar, supaya tidak ketahuan.” Jawab Anan polos.
“ Ya Tuhan............!” keluhku.
Karena  ada Anan hatiku sedikit terhibur. Bercanda. Namun. Hatiku tersusupi badai hitam yang langsung melemahkan kakiku.
Ada apa ini? tanyaku.
Aku sampai ke rumah. Ibu dan bapak menyambutku,
“Gimana Bon...?” Tanya mama dengan tatapan sinis,
“Gagal Mak...!” sahutku
Mereka langsung tertawa terpingkal-pingkal. Aku benci melihat tingkah laku mereka, bukannya menghiburku, malah puas mentertawakanku.
“Kan sudah aku bilang.. lebih baik kau ikut aku sore ini mencari ubur-ubur...!” jelas bapak.
“Tidak Pak.. Bone besok sekolah dan seterusnya akan sekolah..!” jelasku
“Liat...! liat anakmu yang badung ini..! diberi tahu malah melawan.” Bentak mama kepada bapak.
“Bone tidak melawan. Bone Cuma ingin sekolah. Bone harus punya ilmu. Kapan kita mau maju kalau Bone harus berhenti sekolah..!” kataku.
“Kau ini anak siapa ? kenapa nakal sekali, aku sudah memutuskan kau harus ikut aku ke laut. Berhenti sekolah...!” bentak bapak.
Aku sangat terkejut. Urat-urat leher bapak keluar semua. Aku mundur. Mereka mengurungku. Aku berteriak. Mereka memukuliku tanpa ampun. Kulitku rata membiru karena cubitan dari ibu. Belum lagi bapak. Dia mengangkat tubuhku dan langsung membanting. Seluruh amarah ditumpahkannya.
“Ampuuun Maaaaaak........!” jeritku
“Tidak ada ampun untuk anak kurang ajar sepertimu!” teriak ibuku
Akhirnya aku pingsan. Mereka gugup. Aku merasa mereka membawaku ke rumah sakit. Aku sadar. Tapi tak ingin bangun. Aku mati ketakutan. Di perjalanan Anan mengikutiku, aku memberikan isyarat kepadanya, syukurnya ia langsung mengerti. Aku di periksa beberapa dokter. Aku dibiarkan beberapa saat istirahat di ruang gawat darurat. Anan menghampiri ranjang yang kutiduri. Dagingku ingin terlepas dari dari tulang-tulangnya. Aku harus bertahan. Apapun yang terjadi aku harus menggapai mimpiku. Bersama Anan.
“Aku ingin pergi....!” lirihku ke Anan.
“Sabar ya...!” hibur Anan
Kedua orang tuaku keluar ruangan untuk menebus obat.
“Ini adalah kesempatan kita...!” kataku dan langsung merangkul Anan.
“Mau kemana...?” tanya Anan
“Terserah...! yang penting bawa aku pergi jauh dari sini..!” jelasku.
“Oke...!” jawab Anan.
Kami pergi meninggalkan rumah sakit. Anan menepuk-nepuk kepalaku.Ia senyum.


THE END


Catatan
Sesengot          : pria yang berkumis tebal (sebutan pejabat terkenal).
Punggawa        : sejenis perahu besar untuk membantu nelayan mencari ubur-ubur.
Rimpa              : sejenis alat untuk menangkap ikan.
Kerongo          : sebutan kasar anak-anak Bajau.

oleh Big Buddy
(Tri Budiyarni)

0 komentar

Segala sesuatu yang terjadi adalah buah dari keyakinanmu.