Gersang, kumuh, bau menyeruak seperti anyir, rumah bersusun sangat rapat,
sehingga kalau dibuka jendela rumahku langsung tubrukan dengan jendela kamar
tetangga. Bahkan, malaikat
pun pasti tersesat kalau jalan-jalan di kampungku. Bagi yang baru ke kampungku
di desa Rampa Lama Kabupaten Kotabaru mungkin tidak akan betah.
“Ditabung
separuhnya…!” Ibuku mengingatkan
setiap pagi-pagi sebelum ke sekolah.
“Bagaimana mau menabung,
sarapan tidak, uang jajan cuma seribu. Ah…!” gumamku.
“Di sekolahku itu
seperti milik orang tua kami, terserah mau datang jam berapa, jam 7, 8, 9, 10
bahkan tak datang ke sekolah juga tak apa-apa.” Pikiranku semakin kusut melihat kondisi pendidikan yang katanya tambah maju
ini hingga para pemimpin kami mendapatkan penghargaan yang aku pun tak tahu itu
ditujukan untuk siapa.
Guru-guruku pasti aktif atau bisa dikatakan sok aktif apabila ada oknum
tertentu atau ada pihak dari Dinas Pendidikan yang melakukan pengawasan setiap
setengah semester. Tak boleh inilah, itulah. Kamuflase!
kami selalu dijadikan sapi perah untuk mengangkat nama dan jabatan
mereka. Tapi hari ini sedikit berbeda, karena Bapak-bapak dari DIKNAS akan
membagi-bagikan uang beasiswa. Mereka menjanjikan jaminan buku gratis, tas,
sepatu, baju, pokoknya yang bersangkutan dengan sekolah akan digratiskan untuk
dua orang di setiap sekolah.
“ Benarkah bantuan itu
mengalir pada yang membutuhkan?” gumamku lagi.
Hatiku terhenyak, diam, tak dapat bicara. Di
sini mencapai kelas tiga SD saja sudah membanggakan, karena bagi orang tua kami
tak penting sekolah, yang lebih
penting bisa membaca, bisa menulis.
Tubuhku terasa
terbakar. Aku harus mendapatkan beasiswa itu. Walaupun para “sesengot” itu menyuruhku mengambil koin di dasar Selat Makasar ini, aku akan
melakukan. Apapun yang terjadi. Aku tak boleh
menyamakan nasibku dengan kedua orang tuaku. Mereka
boleh menjadi nelayan tradisional yang bermodalkan punggawa dan rimpa. Hanya
berpegang dengan cuaca, iklim dan percaya dengan hitungan bulan dan bintang.
Tapi aku tidak. Aku harus mengubah
semua itu. Tak ada lagi ramalan. Aku akan menjadi nelayan professional.
“Bon..Bon..Bone…!”
teriak ibuku.
Tak terasa sama
sekali kakiku sudah menginjak susunan kayu lapuk rumah.
“Ya, Mak… !” sahutku.
“Susul Bapakmu di gudang Abbas! Bantu dia menaikkan drum dan rimpanya!” kata ibuku dengan lantang.
“Tapi Bone belum makan, Mak…!” Jawabku
“Tidak ada makanan, kau minta saja di gudang, pasti ada kue-kue bekas
kawan Bapakmu. Cepat berangkat, nanti kau
dibanting Bapakmu lagi kalau lambat.!” Jelas Ibuku
Lagi-lagi aku terhenyak. Diam. Kejadian lima hari yang lalu masih terekam
kuat di benakku. Bapak membanting tubuhku ke laut dengan sekuat tenaganya.
Tubuhku bergetar hebat. Bukan tidak
bisa berenang, tapi kemarahan Bapak yang membuat degup jantungku terdengar oleh
seluruh ikan di laut, hanya karena terlambat mengantar makanan dari ibu. Kawan-kawan Bapak puas
mentertawakanku, tubuh kecilku ingin sekali membungkus mereka dengan jala dan
melemparinya dengan Ikan Tongkol, enak saja mereka cekikikan tertawa tanpa merasakan luka hatiku.
Aku langsung meluncur ke gudang, berlari tanpa menggunakan alas apapun. Terik matahari memanaskan urukan
batu kerikil tajam yang belum sempurna menambah pijatan gratis di kakiku. Kalau musim kemarau, mungkin aku
akan mereguk cucuran keringat di tubuhku. Setibanya di gudang aku langsung menghampiri Bapakku dan
membantunya menaikkan drum dan rimpa. Bapak tak melepaskan lototan matanya
kepadaku, terus mengawasi. Aku tak berani menoleh kepadanya. Bulu kudukku akan
berdiri jika melihat kilatan cahaya matahari yang dipantulkan oleh kulit
legamnya. Matanya merah saga karena tak pernah tidur malam dan
selalu berkubang dengan air laut.
“Kau belum makan..?” kata bapakku
yang langsung membuyarkan lamunan. Tak tahu mengapa. Seperti mimpi
saja, tak pernah kalimat itu kudengar dalam hidup. “Belum Pak…!” Jawabku penuh ragu.
“ Kau ambil kue di kapal, makan, terus bantu aku lagi..!” perintah Bapak.
Aku langsung sergap berdiri mengambil kue yang diperintahkannya, kulahap
tanpa jeda, karena cacing perutku
belum makan dari tadi pagi. Bapak tak seperti biasanya, hari ini dia penuh
perhatian, walau tampangnya sangar tapi aku tahu dan yakin kalau ia mempunyai
hati yang lembut. Aku merasa
ada yang tak beres. Tapi, Bapakku memperlihatkan gigi kuningnya yang bertumpuk-tumpuk.
Aku langsung refleks membalasnya. Kalau tidak, pasti
ia akan menguras kue yang telah aku makan dan mengembalikannya kebentuk semula,
karena dianggap anak yang tak patuh.
Aku membantu bapak memperbaiki
rimpanya yang kusut. Entah kenapa mulutku
ingin menceritakan kejadian penting yang terjadi di sekolahku tadi pagi.
“Pak,. di sekolah Bone akan mengikuti tes beasiswa,..” kataku pelan. Bapak melirik tanpa respon apa-apa. Bulu
kudukku mulai bergerak.
“Jatah setiap sekolah hanya dua orang Pak.
Doakan Bone supaya dapat beasiswa..!” pintaku.
“Hemm…!” Desis Bapakku seperti
baru melumat ubur-ubur secara
hidup-hidup. Aku terus saja melanjutkan ocehanku, tak
peduli orang menganggapku gila, pemimpi tengil. Aku seolah bicara sendiri, sehingga lagi-lagi
ditertawakan. Aku manganggap biasa, karena Bapakku tak meresponi
seluruh kata-kataku. Bapak memegang
kepalaku dan menyandarkan di bahunya. Damai, hangat, aku seperti anak yang baru
menemukan orang tuaku karena bertahun-tahun dibuang ke laut.
“Mengapa kau tidak ikut Bapakmu ini mencari ubur-ubur? Ini sudah musimnya! Kita cari uang sama-sama, tinggalkan sekolahmu dan
kita cari ubur-ubur bersama,”lanjut bapakku.
“Tidak..... tidak mungkin
Pak, Bone ingin dapatkan
beasiswa itu,” teriakku
“Percuma Bon…!” lanjut bapakku.
“Aku benci bapak! Bapak sama
saja dengan Mama! Tak pernah mau tau impianku selama ini!” jelasku.
“ Impian yang bagaimana?”
tanya bapak.
“ Aku ingin jadi nelayan yang
sukses! Tentunya dengan sekolah, bukan hanya mengandalkan otot Pak!” kataku.
“ Tapi untuk orang seperti
kita, percuma sekolah Bon!” sahut bapak.
Aku langsung
melepaskan pelukan bapak dan
lari meninggalkan gudang. Aku berteriak. Tak tahu mengapa.
“Mengapa tak ada yang mengerti
perasaanku? Mereka hanya mementingkan dirinya sendiri. Kapan kampungku mau
berubah kalau semua beranggapan sekolah itu percuma?” Gumamku.
Aku berlari. Berteriak. Namun
teriakanku mengundang amarah seorang warga. Aku dibentaknya. Aku terdiam. Gugup. Ocehannya panjang sekali. Ingin
sekali wajah orang tua ini kucelupkan ke laut. Kualat. Aku pulang.
Aku menyelinap
masuk. Terdengar tangisan Ibuku. Aku tak tahu mengapa. Perasaan ingin tahu
keadaan Ibu menyelimuti. Tapi langsung tertutupi oleh rasa gatal yang teramat
sangat di tubuh karena aku belum membersihkan diri. Aku mengendap-ngendap agar tak memancing kemarahan ibu. Mandi.
Aku lahap seluruh buku yang
ada di rumah untuk menghadapi tes beasiswa besok. Aku tak boleh mengecewakan
kedua orang tua walau setiap hari kusantap juga ocehannya.
“Sial..! mati lampu!” gerutuku.
Di tengah kobaran semangat, mengapa PLN
selalu mematikan listrik dua
hari sekali di perkampungan ini.
Apakah mereka menganggap dengan
matinya listrik mati juga semangatku? Tidak akan. Aku belajar sampai
terlelap, sambil membayangkan jadi orang sukses di kampung. Di dalam tidur, aku
bermimpi bertemu dengan bapak lagi. Dia senyum. Sangat lama. Entah
mengapa hatiku gusar. Dan ia lagi-lagi berkata,
“Pecuma Bon…!”
Aku ingin menggapai dan memberontak bapak karna
dia tak pernah mengerti perasaanku. Namun lenyap di tengah kabut tebal. Aku
mencarinya tapi percuma. Aku terbangun dari tidur. Ternyata masih jam 4
subuh. Aku langsung mandi dan belajar tapi terus diliputi perasaan aneh yang
aku tak tahu perasaan apa ini.
“Mak.. Bone minta doa restunya, Bone hari ini ikut tes beasiswa, kemarin
Bone sudah minta restu dari Bapak..!”Kataku, sambil mencium tangan Ibu, dan ia
meneteskan air mata di kepalaku.
“Aku tahu. Kata-kata itu pasti sudah meluluhlantakkan
batin Mama dan ia pasti
bangga punya anak sepertiku. He he he…” cekikikanku. Karena ketawa sendiri kepalaku dipukul dengan telapak tangannya.
“He… maaf Mak… pokoknya doakan
Bone ya…!”
Tegasku lagi
“Percuma Bon…!”Lagi-lagi kata itu yang kudengar. “Buyutmu, Kakekmu, Bapakmu, semuanya nelayan,
jadi untuk apa kau sekolah tinggi-tinggi, hanya buang uang dan waktu saja. Kau
terlahir di laut, makan dari laut, belajar pun di laut, laut adalah jiwa suku
kita Nak, Suku Bajau.” Jelas Ibuku
“ Tapi kan Bone masih kecil
Mak! Masih banyak waktu! Bone punya hak belajar! Bone harus jadi orang sukses.
Titik!” Jelasku.
“ Berani sekali kau membentak
Mamamu!” Teriak ibu. Aku terkejut.
Aku berlari dengan sekuat tenaga ke sekolah. Meninggalkan ibu. Aku tak berani menjawab apa yang
dilontarkannya. Pasti nanti tangan ibu yang seperti centong mendarat di pipiku
yang mulus.
Matahari mulai meninggi.hanya beberapa anak yang datang. Aku lelah
belajar, dan diajak teman-teman main bola. Kugantung tas di pagar sekolah.
Sangat lama aku bermain. Tak terasa, bajuku basah dan kuning oleh peluh. tapi gugu-guru belum ada yang datang. Aku
meneruskan permainan. Bola terus menggelinding. Posisi bola di kaki temanku,
Anan. Dia menendang bola sekuat tenaganya hingga mengenai tasku dan
menghamburkan seluruh isinya ke laut. Aku pun berteriak.
“Kerongo.. bangsat kam ni..e..” bentakku
ke Anan.
Anan hanya menunjukkan rentetan pagar hitam yang terjejer di gusinya. Dadaku terbakar emosi, aku menyerangnya tanpa ampun.
Ronde pertama aku yang menguasai pergulatan, entah mengapa aku merasa sangat
kelelahan sehingga banyak peluang yang didapatkan Anan. Kami bergulat
sampai akhirnya aku terlempar ke laut. Anan sangat puas melihatku.
“ Andai saja aku pegulat
internasional, akan kubantai Anan itu sampai muncrat darah di matanya, karena
lelah menangis minta ampun kepadaku, Ho ho ho, tapi itu mustahil badannya kan
lebih besar daripada badanku!” gerutuku.
Saat aku masih
mengapung di laut, bapak-bapak
dari DIKNAS datang. Mereka langsung ambil posisi di kelas kami.
“Sial. Apa mereka tidak
kasihan denganku? Melirik sedikit pun tidak. Lihat saja kalau aku sudah jadi orang
sukses. Akan kutaklukkan para ‘sesengot’ itu.” gumamku lagi.
Di tengah lamunanku, ternyata Si Tengil Anan itu
membantuku untuk naik ke atas. Aku masih sangat kesal. Tapi melihat
kegigihannya membantu naik ke atas aku jadi terharu. Bajunya juga basah.
“Anan…Anan…walaupun kau menjengkelkan, tapi kau tetap sahabat terbaik.”
Gumamku. Aku naik ke atas
dengan basah kuyub.
Para peserta antri satu per satu untuk melakukan registrasi. Anak-anak
yang lainnya lolos. Tinggal aku dan Anan. Ternyata kehadiran kami ditolak,
karena kami kotor dan tidak mempunyai perlengkapan yang wajib dibawa. Aku pun
bingung bukan kepalang. Aku
memohon-mohon kepada panitia dan guru-guru yang ada di sana namun mustahil,
kami disuruh pulang. Aku tak tega melihat perjuangan Anan, sebenarnya dia masih
diberi kesempatan untuk mengikuti, tapi ia bersikeras.
“ Kalau Bone tak masuk, aku juga.!” Tegas Anan
Aku merasa sangat malu dengan Anan. Aku terus memaksanya untuk ikut tapi
ia tetap tidak mau.
“ Kenapa kau tadi menolongku…?” tanyaku ke Anan,
“ aku tidak tahu,”
sahut Anan dengan tololnya,
“ Maaf ya, gara-gara aku,
kau jadi tidak ikut tes beasiswa juga.” Kataku
“ Oh….” Jawab Anan
“ Ya Tuhan…. Kenapa aku punya teman sebodoh
kamu..!” teriakku
Teriakkanku tak diresponi apa-apa oleh Anan. Sudahlah. Mungkin ini memang
takdirku. Menghadapi sahabat sepolos
ini. Aku pulang bersama Anan. Harapan
kami telah musnah bersama gelombang.
“Sebenarnya aku ingin
sekali membakar sekolahku itu.”
Kataku ke Anan.
“ Nanti malam saja kita bakar,
supaya tidak ketahuan.” Jawab Anan polos.
“ Ya Tuhan............!”
keluhku.
Karena ada Anan hatiku sedikit terhibur. Bercanda.
Namun. Hatiku tersusupi badai hitam yang langsung melemahkan kakiku.
“Ada apa ini?” tanyaku.
Aku sampai ke rumah. Ibu dan
bapak menyambutku,
“Gimana Bon...?” Tanya mama dengan
tatapan sinis,
“Gagal Mak...!” sahutku
Mereka langsung tertawa
terpingkal-pingkal. Aku benci melihat tingkah laku mereka, bukannya
menghiburku, malah puas mentertawakanku.
“Kan sudah aku bilang.. lebih
baik kau ikut aku sore ini mencari ubur-ubur...!” jelas bapak.
“Tidak Pak.. Bone besok
sekolah dan seterusnya akan sekolah..!” jelasku
“Liat...! liat anakmu yang
badung ini..! diberi tahu malah melawan.” Bentak mama kepada bapak.
“Bone tidak melawan. Bone Cuma
ingin sekolah. Bone harus punya ilmu. Kapan kita mau maju kalau Bone harus
berhenti sekolah..!” kataku.
“Kau ini anak siapa ? kenapa
nakal sekali, aku sudah memutuskan kau harus ikut aku ke laut. Berhenti
sekolah...!” bentak bapak.
Aku sangat terkejut. Urat-urat
leher bapak keluar semua. Aku mundur. Mereka mengurungku. Aku berteriak. Mereka
memukuliku tanpa ampun. Kulitku rata membiru karena cubitan dari ibu. Belum
lagi bapak. Dia mengangkat tubuhku dan langsung membanting. Seluruh amarah
ditumpahkannya.
“Ampuuun Maaaaaak........!”
jeritku
“Tidak ada ampun untuk anak
kurang ajar sepertimu!” teriak ibuku
Akhirnya aku pingsan. Mereka
gugup. Aku merasa mereka membawaku ke rumah sakit. Aku sadar. Tapi tak ingin
bangun. Aku mati ketakutan. Di perjalanan Anan mengikutiku, aku memberikan
isyarat kepadanya, syukurnya ia langsung mengerti. Aku di periksa beberapa
dokter. Aku dibiarkan beberapa saat istirahat di ruang gawat darurat. Anan
menghampiri ranjang yang kutiduri. Dagingku ingin terlepas dari dari tulang-tulangnya.
Aku harus bertahan. Apapun yang terjadi aku harus menggapai mimpiku. Bersama
Anan.
“Aku ingin pergi....!” lirihku
ke Anan.
“Sabar ya...!” hibur Anan
Kedua orang tuaku keluar
ruangan untuk menebus obat.
“Ini adalah kesempatan kita...!”
kataku dan langsung merangkul Anan.
“Mau kemana...?” tanya Anan
“Terserah...! yang penting
bawa aku pergi jauh dari sini..!” jelasku.
“Oke...!” jawab Anan.
Kami pergi meninggalkan rumah
sakit. Anan menepuk-nepuk kepalaku.Ia senyum.
THE END
Catatan
Sesengot : pria yang berkumis tebal (sebutan
pejabat terkenal).
Punggawa : sejenis perahu besar untuk membantu
nelayan mencari ubur-ubur.
Rimpa : sejenis alat untuk menangkap
ikan.
Kerongo : sebutan kasar anak-anak Bajau.
oleh Big Buddy
(Tri Budiyarni)
(Tri Budiyarni)
0 komentar
Segala sesuatu yang terjadi adalah buah dari keyakinanmu.