Dongeng Kancil dan Monyet (Terjemahan dari Bahasa Banjar)

Cerita-Cerita Rakyat Kalimantan Selatan Terjemahan Dari Bahasa Banjar


Judul Buku          :LAMBUNG MANGKURAT DAN DAYANG DIPARAJA

Karya                     : Ayahanda Syamsiar Seman

Terjemahan          : Tri Budiyarni

Cetakan Kedua Tahun 2005
Serie Volklore


KANCIL DAN MONYET



Walaupun tubuhnya kecil namun ia sangat gesit, kakinya keras, cepat sekali kalau ia berlari sebentar-sebentar ia melompat yang sangat ia senangi saat melompati sarang semut, setelah ia kenyang memakan buah kujajing, hari masih pagi kancil yang satu itu duduk jongkok diatas sarang semut perutnya sudah kenyang makan buah kujajing yang tumbuh dipinggir sungai. Saat pagi hari banyak binatang lain yang melewati di situ untuk mencari makanan. Tidak lama setelah kancil duduk diatas sarang semut itu lewatlah seekor capung yang besar.

Capung itu matanya besar bulat seperti biji jagung mengkilat terkena sinar matahari sayapnya lebar dan buntutnya panjang berbelang hitam.

Ternyata kancil itu melihat capung yang melewati di dekat sarang semut dia pun menyapanya.

“Uuu capung, kamu mau kemana cepat-cepat terbang?”, capung yang dipanggil itu menoleh kepada kancil yang menyapa dirinya.

“Mau ke padang kumpai di pinggiran itu disitu banyak lalat untuk makananku”, sahut  capung.

“Kesini dulu aku ada kabar“, sambung kancil setelah itu capung itu singgah ke sarang semut tempat kancil yang duduk jongkok dan kancil memperhatikan sekali si capung.

“Kamu punya kabar apa?”, tanya capung

Kancil itu sangat senang bicara yang berkoar-koar seperti orang pintar orang hebat dan berani.

“Kamu tahu aku kemarin mengalahkan lima ekor buaya. Dia ku tipu badannya ku langkahi ku hitung untuk menyebrang melewati sungai setelah itu monyet bamban ku tipu juga dia kusuruh melilitkan ular sawa kebadannya kukatakan ular itu adalah ikat pinggang untuk seorang raja”.

“Kamu tidak boleh menipu orang seperti itu, kamu selalu senang melihat orang yang marah seperti itu”, kata capung

“Aku terpaksa saja seperti itu buaya itu mau memakan kaki ku monyet itu menarik punggung belakang ku”.

“Kamu sih yang sombong tapi kamu tidak bakalan bisa mengalahkanku”, Kata capung

“Kata siapa aku tidak bisa mengalahkanmu?”

“Ayo kita adu tidak tidur selama semalaman”, kata capung.

“Benarkah?” Kata kancil

“Benar kamu pasti akan kalah nanti”, kata capung

“Belum tentu perkara kecil tidak tidur itu”

Siapa yang kalah harus mencarikan makanan kata capung membuat sarat.

“Setuju, kalo aku kalah pasti ku carikan kamu tiga ekor lalat, tapi kalo kamu kalah kamu harus mencarikan ku tujuh biji buah kujajing”, sahut kancil.

“Kenapa tidak sama banyaknya?” Tanya capung

Menangkap lalat itu susah, kalo memetik buah kujajing hanya menyentuh pohonnya saja sudah banyak jatuh .

“Oke atur saja”. Jawab si capung

Mereka sudah sepakat untuk beradu tidak tidur selama semalaman, siapa yang tidur akan kalah dan harus membayar.

Malam harinya kancil duduk di atas batang pohon jinah didekat situ capung bertengker di atas ranting pohon rambai dibawah situ ada sungai kecil.

“Nah.. Kita bermula beradu tidak tidur satu malam ini”, kata capung.

“Iya “, sahut kancil.

Mereka berdua diam tidak tidur, siapa yang tertidur pasti akan jatuh nantinya. Kancil itu tubuhnya besar duduk di batang pohon jingah. Capung yang badannya ringan saja walau dia jatuh dia pasti saja bisa terbang, matanya besar itu sangat nyarak tidak ketahuan dia tertidur atau tidak.

Ada kira-kira beberapa jam kancil sudah mulai mengantuk matanya sayu ingin tertidur  dan akhirnya si kancil pun tertidur, setelah tertidur tubuhnya terjatuh dan bunyinya mendebum ke sungai dan tubuhnya pun basah.

“Ha,ha,ha, kenapa jadi jatuh?” Kata si capung menegur sambil tertawa terbahak bahak.

“Cah aku ingin mencuci wajahku saja, mata ku pedih”, jawab si kancil mengalihkan perhatian padahal dia tertidur.

Setelah berdua itu diam kembali sunyi tidak ada yang berbicara, saat tengah malam kancil sangat mengantuk dan akhirnya diam tertidur kembali, tubuhnya melemah dan terjatuh mendebum kembali ke sungai, kancil itu pun tubuhnya basah kunyup.

“Ha,ha,ha! Kenapa terjatuh lagi?” Kata capung menengur sambil tertawa.

“Cah aku kebelet pipis saja”, sahut si kancil padahal dia jatuh karena tertidur badanya melemah. Setelah itu mereka sunyi kembali. Namun saat tengah malam kancil itu tidak tahan lagi ngantuknya ia tertidur dan mendebum lagi ke sungai badannya pun basah kembali.

“Ha,ha,ha, kenapa terjatuh lagi?”, tanya capung sambil tertawa terbahak-bahak

“Cah, aku ingin mandi saja badanku sangat gerah”, jawab kancil mengelabuhi.

“Dasar kancil. Mana ada orang mandi tengah malam seperti ini, airnya dingin, badanmu gerah. Bilang saja kamu sudah tiga kali mendebum”, kata capung

“Baiklah! Aku mengaku kalah. Kalau aku bersikeras nanti dibilang bohong”, kata kancil mengalah yang sebenarnya memang sudah kalah berkali-kali.

Badan kancil itu gemetaran setelah jatuh ke sungai. Setelah hari sudah siang kancil terpaksa mencarikan 3 ekor lalat untuk memberi makan capung.


Lomba Lari dengan Ulat Kaki Seribu

Saat kemarin si kancil mondar-mandir berjalan di pingir perumahan, rumah itu berada ditengah sawah yang padinya sedang tumbung besar-besar, batangnya kuat daunnya menguning, buahnya sudah keluar, padi itu sudah bisa dipanen.

Saat si kancil mengamati padi yang besar-besar itu, ada Ulat Kaki Seribu merayap-rayap di dekat akar batang padi namanya Haliling, kancil yang melihat Ulat Kaki Seribu kecil itu lalu menegur.

“Hai, Ling! Apa yang kamu lakukan?” Ulat Kaki Seribu kecil itu perlahan melihat kancil dan ia pun menjawab :

“Aku menungu teman disni”.

“Menunggu untuk apa dan mau kemana?” Tanya si kancil.

“Ingin pergi pijat ke rumah orang yang di sebelah sana!” Kata Ulat Kaki Seribu.

“Apa yang mau dipijat?” Tanya lagi si kancil.

“Memijat kaki agar nantinya bisa sehat saat berjalan atau lari kencang.” Jawab Ulat Kaki Seribu.

Si kancil sangat heran mendengar jawaban Ulat Kaki Seribu, dalam hatinya Ulat Kaki Seribu tidak punya kaki bagaimana lagi mau berjalan cepat apalagi kalau lari sepertinya tidak pernah mendengar Ulat Kaki Seribu itu berjalannya saja sangat pelan dalam hati kancil berpikir.

“Siapa yang jadi tukang urutnya Ling?”, tanya kancil.

“Bingkarungan,” jawab Ulat Kaki Seribu.

Si kancil itu bertambah heran lagi, ia berpikir dalam hati sejak kapan bingkarungan itu bisa memijat namun dia diam saja.

“Kalau sudah pijat nanti bagaimana kalo kita lomba lari?” Tanya kancil

“Itulah yang aku cari agar kami tidak dikatakan loyo lagi kami bisa saja berjalan cepat setelah di pijat nanti lari pun nanti tak terkejar lagi.”

Si kancil pun tertawa terbahak-bahak setelah mendengar kata – kata Ulat Kaki Seribu. Mereka pun berpisah. Keesokan harinya kancil dan Ulat Kaki Seribu itu bertemu lagi di tempat yang sama.

“Bagaimana Ling janji kita lomba lari?” Kata si kancil setelah mereka bertemu.

“Jadi! Kita lomba lari dimulai dari pohon tarap hingga pohon kalang kala di sana”, kata Ulat Kaki Seribu sambil menunjuk ke pohon tarap di dekat ia berdiri, dengan pohon kalang kala yang panjangnya kira-kira 15 depa.

“Siapa yang kalah harus membayar”, kata kancil.

“Bagaimana cara membayarnya?”, kata Ulat Kaki Seribu.

“Jika kamu yang kalah, kamu harus mengambilkan buah kujajing sebanyak tujuh biji,”

“Setuju saja tapi kalau kamu yang kalah kamu harus menebas rerumputan di pinggir rumahku selebar 1 depa dan ambilkan buah sebanyak luas pohon tarap itu”, jawab Ulat Kaki Seribu.

“Aku setuju!” kata si kancil.

Setelah itu mereka sepakat untuk memenuhi janji mereka. Mereka pun berpisah dulu sebentar. Si kancil ingin mengambil biji pala dan kunyit. Biji pala dan kunyit itu ditumbuknya hingga lembut dan digosokkannya ke kaki, agar kakinya gesit saat berlari.

Ulat Kaki Seribu juga berlari pulang ke rumah memanggil teman-temannya lima ekor. Tubuh teman-temannya itu dicoret belang dengan kapur putih. Temannya berlima itu berbagi wilayah di setiap jarak tiga depa.

Ulat Kaki Seribu memanggil temannya yang si tupai yang berada di pohon kelapa. Tupai itu diperintahkannya menjadi tukang hitung saat lomba lari mereka dengan si kancil. Saat lomba akan dimulai, tupai itu sudah ada duduk di atas reranting pohon tarap. Ia sudah siap menjadi tukang hitung.

“Sudah siap?”, teriak tupai.

“Sudah!”, sahut Ulat Kaki Seribu dengan berteriak juga..

“Kamu bagaimana Cil?” Tanya tupai lagi.

“Sudah juga!”, sahut si kancil.

“Dengarkan hitunganku ya.. satu… dua… tigaaaa… !” teriak tupai dengan sangat semangatnya berteriak.

Si kancil berlari sangat kencang. Dilihatnya saat di kilometer tiga ada Ulat Kaki Seribu yang bercoret kapur sudah ada duluan di banding si kancil. Ia pun berlari lagi dengan sangat cepat ternyata ada lagi si Ulat Kaki Seribu yang lebih cepat.

Sampai ke pohon kalangkala, ternyata si Ulat Kaki Seribu sudah ada lagi duluan. Si kancil terengah-engah kelelahan, nafasnya mun pendek hingga sakit kepalanya. Setelah itu si kancil terduduk, ia tidak bisa bernafas.

“Nah, siapa yang menang?”, kata si tupai.

“Siapa lagi kalau bukan aku!” Jawab Ulat Kaki Seribu.

Si kancil pun menyerah, ia tak bisa mengelak lagi. Terpaksa si kancil mengaku kalah kepada Ulat Kaki Seribu yang kecil itu. Terpaksa lagi si kancil memenuhi janjinya, menebas rumput-rumput yang ada si sekitar rumahnya.

“Untuk apa sih kamu menebas rumput-rumput yang ada di pinggir rumahmu itu?, kata si kancil bertanya kepada si Ulat Kaki Seribu.

“Untuk tempat menjemur biji buah kalangkala, ha,ha,ha,!” kata si Ulat Kaki Seribu sambil tertawa kemenangan.

Si kancil pun terdiam, ia sudah dua kali kalah. Setelah ia dikalahkan oleh si capung, saat ini Ulat Kaki Seribu yang kecil itu mengalahkannya lagi.


Berhutang Kepada Kura-kura Beracun

Baru saja hujan lebat menjadikan sungai meluap dimana-mana hingga ke pematang sawah. Untungnya hanya sebentar saja banjirnya. Hari mulai memanas, matahari pun bersinar.

Di pinggir sungai itu ada seekor kura-kura yang sedang mencuci wajahnya setelah itu ia berjemur menghangatkan tubuhnya. Kura-kura itu banyak mempunyai uang, baru selesai dari berjualan telur.

Ternyata ketahuan oleh si kancil bahwa si kura-kura mempunyai uang yang banyak dari penjualan telur. Telur kura-kura itu enak rasanya, makanya enak untuk menjualnya.

Saat kura-kura menjemur badannya di tengah panasnya sinar matahari, si kancil datang mendekat dan ia pun menyapa :

“Uuu, kura-kura! Kamu sekarang sangat kaya ya, banyak mendapatkan uang setelah berjualan telur”.

“Iya benar, darimana kamu tahu cil?”, kata kura-kura.

“Aku tahu, si biawak yang mengatakannya padaku, ia membeli telur dua belas biji”, sambung si kancil.

“Oh iya benar, memangnya kenapa cil?”, Tanya si kura-kura.

“Itu, aku perlu uang! Apa kamu bisa menolong aku, pinjamkan aku uang?”, kata si kancil.

“Kamu perlu uang untuk apa?”, Tanya si kura-kura lagi.

“Sekarang ini lagi bulan tua, jadi ada yang mau aku beli kur! Maka dari itu aku perlu uang”.

“Baiklah, kamu perlu berapa?”.

“Tidak banyak, hanya dua ringgit saja”, jawab si kancil.

Si kura-kura kasihan juga melihat si kancil yang sangat memelas kepadanya. Ia pun pulang ke rumah sebentar. Setelah itu ia datang membawakan uang dua ringgit untuk mengutangi si kancil.

“Ini uangnya, cil! Dua ringgit. Kapan kamu akan membayarnya?”, Tanya si kura-kura setelah menyerahkan uangnya.

“Nanti saat bulan dua”, sahut si kancil.

“Jadi kalau seperti itu sebulan kamu hutang. Saat ini bulan Muharram, satu bulan lagi menjadi bulan Sapar, bulan dua.”

“Iya benar, kalau tak ada aral yang melintang”. Kata si kancil.

Setelah uang dua ringgit itu diambil oleh si kancil, ia pun pulang ke rumah. Setelah itu si kancil tak terlihat lagi, si kura-kura tidak pernah lagi bertemu dengan si kancil.

Ditunggu-tunggu sampai sudah waktunya satu bulan. Saat ia berhutang bulan Muharram, sampai sudah hari ini bulan Sapar.

“Bulan Sapar itu bulan dua. Jadi si kancil harus membayar hutangnnya kepadaku”, gumam si kura-kura.

Si kancil sudah lama tak terlihat, dengan terpaksa kura-kura mencari si kancli hingga ke rumahnya. Saat ia mencari di rumahnya si kancil ternyata si kancil sedang naik ke gunung.

“Si kancil membuat aku bingung”, kata si kura-kura.

“Saat mau berhutang manis sekali dia berbicara. Saat ia harus bayar orangnya hilang tidak terlihat sama sekali”. Gumam si kura-kura lagi.

Namun tidak lama setelah itu, si kura-kura pun menemukan si kancil. Saat si kancil sedang beristirahat di bawah pohon kujajing. Si kura-kura pun muncul dari belakang perlahan mendekati si kancil. Sampai di belakangnya kancil, baaauuu, di pukulnya di belakang. Si kancil pun terkejut tak terkira.

“Nah, kenapa kamu tidak muncul selama satu bulan?”, Tanya si kura-kura, lama si kancil baru menjawab.

“Anu.. Kur.. aku sangat sibuk. Aku menemani tanteku mengatam padi di hutan sebelah sana”, kata si kancil.

“Hingga sudah dua bulan, kamu harus membayar hutang sebanyak dua ringgit itu”, kata si kura-kura.

“Belum bulan dua”, sahut si kancil. Yang sebenarnya ia si kancil ingin ingkar, tidak ingin membayar hutang.

“Saat ini bulan Sapar, bulan dua”, kata di kura-kura.

“Bulannya satu biji saja”, kata si kancil lagi.

“Memang benar bulan yang di langit itu satu biji. Namun hari ini sudah bulan sapar, bulan dua”, kata si kura-kura bersikeras.

Si kancil yang ingkar itu tetap tidak mau membayar hutangnnya. Ia tidak mau membayar hutang itu karena bulannya tidak dua biji. Kura-kura yang menghutangkan uangnya pun jadi ikut bertambah bingung memikirkannya, di mana ada bulan dua biji.

Tiga hari setelah itu timbul di langit bulan empat belas. Cahaya bulan itu sangat terang di atas awan, setelah itu kura-kura mendapatkan ide. Ia cepat-cepat pulang ke rumah membawa tempat/ baskom  yang ia isi dengan air, dan ia pun membawanya ke rumah kancil. Ia pun sampai ke rumah kancil. Saat sampai pun si kura-kura berteriak memanggil si kancil.

“Uuuu kancil.. cepat ke sini!”.

Si kancil pun keluar dari rumahnya, ia memperhatikan si kura-kura yang membawa baskom berisikan air. Ia sangat heran, untuk apa si kura-kura membawa baskom yang berisikan air itu.

Saat si kancil melihat ke dalam baskomnya ia pun melihat bulan sebiji, dan ia pun sangat terkejut.

“Naaaa.. Kamu lihatkan? Dalam baskom itu ada bulan satu biji, jadi bulannya ada dua dengan yang di langit”, kata si kura-kura. Si kancil pun keheranan, dalam hatinya benar juga kalau bulannya sudah ada dua biji, di dalam baskom dan yang di atas langit. Si kancil itu pun tak bisa mengelak lagi.

“Naah.. Bulan dua, kamu harus membayar hutangmu dua ringgit”. Kata kura-kura. Setelah itu si kura-kura berkata :

“Uang dua ringgit itu adalah hasil jerih payahku selama ini, jadi kamu harus mengembalikannya”.

Setelah mendengar ucapan kura-kura si kancil pun masuk ke rumahnya mengambil uang dua ringgit yang diselipkannya di bawah tikar, uang dua ringgit itu ia serahkan kepada kura-kura.

Ternyata si kancil yang mengaku pintar itu tak dapat lagi memungkiri. Ia kalah lagi dengan si kura-kura. Kura-kura itu ternyata pintar untuk menagih hutang.

Si kancil pun menjadi kalah sebanyak tiga kali, dengan monyet, capung, Ulat Kaki Seribu, dan kura-kura padahal tubuh semua hewan yang ia coba untuk ditipu lebih kecil darinya.



Nilai Cerita :

Tidak baik kalau jadi orang yang suka berkoar-koar, mengatakan dirinya hebat, mengatakan berani dan pintar. Apalagi kalau sering menipu orang lain. Jika ada yang hebat maka akan ada yang lebih hebat. Jika ada orang yang berani dan pintar maka masih ada yang lebih berani dan pintar. Bila ia menipu orang, maka suatu saat ia juga akan ditipu juga.


by : Tri Budiyarni



0 komentar

Segala sesuatu yang terjadi adalah buah dari keyakinanmu.