Abang.. #9

Aku terbang lagi ke pinggiran kota Istanbul. Memasuki sebuah cafe yang berhadapan langsung dengan Selat Bosporus. Hmmm.. nikmat.. Abang.

Waktu itu kulihat seorang kakek di salah satu meja yang tak jauh denganku. Ia sudah duduk termangu disana sebelum aku tiba. Pramusaji beberapa kali menyorongkan buku menu tak digubris. Ia memandangi pemandangan yang sama, birunya Laut Marmara.

Aku hanya tak tahu apa yang ada di benaknya ketika hal yang dipandangnya sama dengan pemandanganku. 
Di dalam benakku tentu saja aku masih berkutat dengan pertanyaan padamu Bang. Aku menarik napas dalam.

Apa sebenarnya puncak dari cinta itu? 
Apakah usaha cinta ada batasnya? 
Jadi, semacam apa eksekusi cinta yang benar Bang?

Menghela nafas lagi. Aku mulai merasa perjuanganmu untukku menipis. Tinggal sejengkal. Tapi kenyataannya kau tidak se-berjuang itu kan Bang? Hmmmm.. Tiba-tiba kakek itu membelai ubun-ubunku. "Ananda.. kamu hanya terlalu takut lantaran cintamu tidak sesempurna almarhum suamimu yang begitu mengagungkan dirimu bukan? Sepertinya kau terlalu membatasi diri, sedang Rahman dan RahimNYA tak terbatas dengan ruang dan waktu." Kakek itu tak bergerak sama sekali dari tempat duduknya. Tapi kulit kepalaku sangat nyata merasakan sentuhan hangat tangan kakek itu. Matanya biru, sebiru gantungan kunci blue eyes yang berhamburan di Grand Bazar. Rambutnya yang tersisa hanya beberapa bilah di ubun-ubunnya. Sisanya menyebar ke samping kanan dan kiri kepalanya. Memakai rompi warna merah menyala dan sepatu sport.

Tapi itu tadi, aku masih tak tahu apa yang ada di benaknya. Kakek itu masih melempar pandangannya ke luar jendela. Hal yang sama-sama kami pandang. Laut Marmara.

Lagi-lagi aku merasa terasing. Menghirup udara, tetapi terasa pepat di dada.

#jandatraveller
#bigbudi

0 komentar

Segala sesuatu yang terjadi adalah buah dari keyakinanmu.